- Home>
- Fanfiction >
- 10 Tahun Setelah Aku Mati II
Posted by : Unknown
Rabu, 23 Agustus 2017
Fanfiction SasuSaku
Disclaimer: Naruto by Masashi
Kishimoto
.
.
10 Tahun Setelah Aku Mati
.
II
.
Enjoy~
.
Mega tampak sangat pekat di atas
sana. Masih jelas terlihat walau langit malam berusaha menyamarkannya. Gugusan
awan yang berisi uap air telah dikondensasikan menjadi air hujan yang jatuh
begitu deras malam ini. Bulir-bulir kecil itu berjatuhan dengan teratur, intensitas
yang terlalu deras tak akan sampai melukai siapapun. Termasuk gadis ini. Hujan
tak akan melukainya, karena aku telah memberinya luka yang amat pedih. Tak akan
sebanding dengan butiran hujan malam ini.
.
Aku
terus memandang punggung gadis ini tanpa berkata sepatah katapun. Wajahnya
memerah seolah akulah yang tengah iya tatap. Pandangannya masih sama, teduh dan
menyejukkan. Hujan malam ini berhasil mengubah atmosfer menjadi sangat syahdu.
Bahu gadis itu terus bergetar menahan lonjakan perasaan yang berhasil menggapai
dan menembus kulitku. Untuk kesekian kalinya pada malam ini dia mengecup pusara
yang mulai ditumbuhi lumut dan menutupi setengah dari ukiran namaku. Helaan
nafas hangat pada pusara tua itu berhasil menjangkauku, helaan nafas yang seakan
menyatakan cinta dan hasrat yang telah berpadu menjadi satu menunggu untuk
diungkapkan.
Haruno
Sakura. Atau mungkin kusebut dia Uchiha Sakura setelah mimpi buruk hari itu
merenggut segalanya. Sakura, gadis yang telah memberiku segala yang aku
inginkan tanpa harus kuminta. Gadis yang setiap saat memberiku senyuman yang
jauh lebih hangat dari senja manapun. Gadis yang selalu menenangkanku dengan
segala pesona yang iya miliki, dan disanalah cinta, dimana seorang mencintaimu
dan memberikan segala yang kau inginkan tanpa harus diminta.
Berbeda!
Itulah yang kudapati darinya. Sakura berbeda dari mereka yang hanya memiliki
hasrat binatang dengan birahi yang meluap-luap. Mereka, para remaja yang selalu
mendahulukan rasa ingin tahu dibandingkan apa esensi cinta yang sebenarnya.
Bagiku esensi cinta adalah membahagiakan mereka yang memberi dan menerima
cinta, dan kuakui aku gagal dalam filosofiku sendiri. Dia, Sakura, memberiku
keyakinan dalam cinta. Bukan karena parasnya, dia tidak tinggi, dia juga bukan
idola, dia hanya gadis biasa dengan senyum hangat yang mampu menjatuhkanku
hingga eros menancapkan panahnya.
Bahasa
tubuhnyalah yang berbicara padaku dan mengundangku untuk mencintainya pada
pandangan pertama. Hari itu kukenal cinta pertamaku, meski dia terus menghindar
tapi aku mencintainya sebagai laki-laki dan akan kulakukan dengan cara seorang
lelaki.
Gadis
itu masih disana, memandang dan seakan berbicara pada pusara usang dengan bibir
yang bergetar. Detik demi detik berjalan dengan sombong tanpa mau berhenti
apalagi menoleh kebelakang. Kadang ia berjalan semakin cepat, menderaku dengan
harapan yang begitu besar dan kadang ia berjalan lambat, menyiksaku dalam
penantian. Sudah cukup aku menyakitinya. Hari ini tepat sepuluh tahun aku
memberinya rasa sakit yang mendidih. Aku lelah untuk terus melihatnya
berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja. Aku ingin menggapai dan membawanya
dalam dekapanku. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya hingga rela
tenggorokanku lepas dari sendi-sendinya, menyuruhnya untuk terus berjalan tegak
tanpa getaran dibahunya. Tapi sia-sia.
Dia
mencoba menutupi luka menganga itu dengan senyum, namun yang kulihat hanya
genangan air mata. Dia kembali mencoba menutupinya dengan tawa, namun yang
kurasa hanya luka yang kian nyata. Jika boleh jujur, aku bosan mendengarkannya,
aku ingin di dengarkan sekali saja.
Angin
lembab mulai menerpa wajahku, entah sejak kapan hujan berubah menjadi rintik
yang menyisakan embun. Dia masih disana, tak bergerak seincipun. Kukumpulkan
keberanian untuk mendekatinya. Jelas sekali aroma hujan dipadukan dengan aroma
tubuh Sakura yang tepat menghipnotisku untuk mempersempit jarak diantara kami.
Wajahnya masih secantik dulu, tambahan garis kedewasaan di bingkai wajahnya
menyempurnakan pahatan Tuhan.
“Sasuke...”
Namaku meluncur dalam lantunan suara serak dan kembali likuid bening yang
kubenci menghiasi wajahnya. Kali ini tanpa air hujan yang menyamarkan
tangisannya.
Hari
ini kembali aku menangis bersamanya dalam hening. Tak kupedulikan lukisan
langit mendung yang mulai menampakkan fajar. Aku masih disini, bersama gadis
yang memberiku cinta tanpa syarat, gadis yang setia bersamaku selama sepuluh
tahun. Gadis yang rela memelihara luka dariku, lelaki yang memotong segala
impian tanpa sempat diraih.
“Sasuke,
aku mencintaimu..”
Sungguh!
Hentikan Sakura! Berhenti membuatku menentang takdir Tuhan dengan lebih
memilihmu. Aku pun tidak tahu mengapa Tuhan memberi cinta yang amat sangat
besar jika akhirnya benang cinta yang terajut sangat dalam ini Dia putuskan.
Aku tidak akan mencegah apa yang memang tidak dapat dicegah. Aku tidak menyesal
memberimu hidup dengan memutus kehidupanku, aku tahu kau marah, aku tahu kau
membenciku, aku tahu kau lah yang menanggung luka amat besar. Tapi ini
pilihanku untuk mencintaimu dengan benar, untuk mencintaimu dengan cara seorang
lelaki.
Kau
menangis lagi. Cahaya fajar menambah kilauan pada bulir murni di matamu. Ada
kekuatan dalam matamu dan aku tahu itu. Hiduplah Sakura, hiduplah dengan cinta
yang kuberikan. Jika luka itu tak sanggup kau tampung, maka berikan padaku.
Biarkan luka itu berbekas pada masalalu dan untuk sekarang berikan padaku.
Hari
itu. Hari dimana aku mengambil keputusan paling keji untuk membelenggumu dan
kemudian meninggalkanmu. Sungguh bukan itu yang kuharapkan. Aku berusaha
Sakura. Demi apapun di dunia aku ingin tetap tinggal. Namun yang kudapati hanyalah
suara nafas yang tersekal berusaha mencari udara yang terasa begitu jauh.
Diwaktu yang sempit betapa aku ingin membahagiakanmu, bukan memberimu luka yang
jauh lebih sakit dari kematian. Tidak kupedulikan rasa sesal yang datang begitu
terlambat. Aku bersyukur menemukan cinta yang benar dipenghujung hidupku, cinta
yang teduh tak bersyarat dengan segala ketulusan dan keikhlasannya, dan aku
bahagia memberimu waktu untuk melanjutkan nafas kehidupanku.
Aku akan tetap bersamamu, jika kau
membuatku hidup dalam kenangan, maka aku tidak akan menjadikanmu kenangan.
Dalam matamu ada aku disana, di nadi detak jantungmu yang tak akan pernah
kutinggalakan, jadikan nafasmu sebagai pertanda kehidupanku, karena aku
mencintaimu dengan segenap cinta yang tumbuh melewati batas waktu dan kematian.
Jika
keajaiban menghampiri kita, hanya satu yang kuharapkan.
“Aku
mencintaimu Sakura, sebelum dan setelah kematian, bukan hanya dalam sepuluh tahun,
bahkan dalam seribu tahun setelah kematianku.”
.
.
“Untuk
kalian yang masih memiliki cinta dalam hidup, jagalah esensinya. Apabila mencintai seseorang membuatmu utuh,
maka peliharalah. Jika kau adalah lelaki maka mencintalah dengan cara seorang
laki-laki. Jika kau adalah perempuan, maka tuluslah yang dibutuhkan. Aku bukan
lelaki yang piawai memainkan kata, aku hanya seorang lelaki yang cintanya
diputus oleh kematian. Ini kisahku.”
.
.
FIN